Thursday, April 11, 2013

Musim Hujan Tanpa Hujan



Dia tampak begitu anggun dengan baju biru muda dan celana panjang hitamnya pagi ini. Mata gue gak pernah lepas memandang wajah sumringah gadis asli Jakarta yg saat ini kuliah satu kampus sama gue. Tepatnya dia dulu pernah satu kelas. Sejak awal dia masuk kuliah, gue udah tertarik padanya. Entah kenapa, gadis itu merebut perhatian gue dengan sikapnya yang lebih sering diam daripada bicara pada orang lain.

 Rini Adiarti. Gue biasa memanggilnya dengan sebutan Rini. Nama itu pun gue ketahui dari teman-temanku sebelum dia mau menerima uluran tangan saat gue ajak berkenalan. Dingin, sedikit aneh, namun penuh daya tarik, itulah pandangan gue tentangnya diawal perkenalan. Dapat  gue rasa ada sejuta misteri tersimpan dalam diri gadis itu. Dan saat ini, gue telah sedikit menemukan jawabannya.

***

“Rini ga kaya gadis pada umumnya. Dia bukan gadis baik-baik. Lebih baik lo pikirin lagi sebelum terlanjur jauh berhubungan dengannya."

Hendro, teman dekat gue di kampus, lagi-lagi mengatakan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Ini sudah ketiga kalinya ia bicara begitu tentang Rini. Ya. Sejak gue bilang kalo gue jatuh cinta pada Rini.

“Itu kan baru omongan anak-anak, dro. Kita sendiri nggak tahu kebenarannya."

"Mata lo benar-benar tertutup sama yang namanya cinta."

Gue mengangkat bahu sambil menyeringai ke arah Hendro. Dia cuma mendesah kesal melihat sikapku. Ngotot! Itu istilah Hendro untukku.

"Apa lo udah buktiin sendiri, dro?"

"Ha? Maksud lo?"

"Ya....apa lo pernah lihat sendiri Rini melakukan pekerjaan itu?"

"Belom sih. Tapi Julian, playboy kelas kakap itu katanya pernah merasainnya langsung."

"Ah! Merasain apa?"

"Tingkah liar Rini." Hendro diam sejenak. "Julian kan pernah pacaran sama dia. Kalau mau tahu persis, tanya aja sama dia."

"Tapi kalo cuma gara-gara Julian, ya nggak bisa jadi bukti buat memvonis Rini melakukan pekerjaan itu kan?"

"Eh, mas, anak-anak sudah tahu semua soal pekerjaan Rini. Atau lo langsung saja cari tahu dari Rininya sendiri."

" Gila lo ah!"

Gue tinggalkan Hendro untuk masuk kuliah. Kulihat ia masih cengar-cengir nggak karuan.

****

Di ruang kuliah pikiran melayang pada Rini. Berjuta pertanyaan menyesaki pikiran gue siang ini. Kadang gue ngerasa risih juga kalo inget pekerjaan Rini seperti apa yang dikatakan anak-anak di kampus. Serendah itukah? Menjadi seorang wanita penghibur yang keluar tiap malam untuk melayani para lelaki hidung belang dan bertangan nakal. Jika memang benar, apa alesannya?. Gue gak habis pikir. Memuakkan. Mengapa gadis yang gue cintai harus menjadi seorang wanita tuna susila. Menyedihkan. Tapi itu belom tentu benar.

Hati gue coba cari keyakinan positif tentangnya. Kulihat selama ini Rini adalah sosok gadis yang ramah, baik hati, walau sedikit tertutup mengenai kehidupannya. Sesaat terdorong juga gue buat mcari informasi dari Julian.

****

"Hahahaha...gadis itu? Memang bener, Gung. Rini bukan gadis baik-baik. Dalam diamnya tersimpan sebuah keliaran yang mengimpikan sejumlah materi."

"Materi?" Gue gak ngerti arah pembicaraan Julian.

"Iya. Gadis itu cuma ngejar uang. Dia memberikan tubuhnya demi uang."

Badan gue gemeter denger kata-kata Julian barusan. Jadi bener...

"Bagaimana lo bisa tahu, jul?"

gue harus tau semua. Gue harus tahu ada rahasia apa pada diri gadis yang gue cintai itu. Saat ini gue merasa menjadi orang bodoh yang gak tau apa-apa.

"Waktu gue ajak Rini ke pantai, dia mau aja. Di sana, di dalam mobil, gue mulai nyentuhnya."

"Terus?"

"Gue cium dia. Pipinya, bibirnya. Gue nggak nyangka Rini bersikap biasa aja saat itu. Seakan-akan dia udah berpengalaman lebih dari gue."

"Hem..." gue cuma bisa menggumam.

"Trus gue buka baju dan kutangnya. Gue remas payudaranya. Gila! Gadis itu seperti sengaja menyodorkan badannya buat gue. Terakhir, dia malah minta bayaran."

Gue gak tahan lagi dengar semua ini. Menjijikkan! Gadis murahan!

Maki gue dalem hati. Gue tahan Julian meneruskan ceritanya. Bagi gue semua udah cukup. Sekarang gue cuma pengen menyendiri. Sendiri!

****

Hari-hari berlalu seperti biasanya. Tapi hubungan gue sama Rini malah makin deket. Kami sering ngobrol berdua baik di dalam ataupun luar kampus. Gue sadari kalo teman-teman gue kurang suka sama sikap gue ini.

Jujur gue sendiri gak bisa mengilangin rasa rindu sm cinta pada Rini setiap hari. Seperti sore ini di kos Rini. Ironisnya gue liat Rini juga nunjukkin sikap jatuh cinta. Walaupun setelah sekian lama kami begitu dekat, gue tetap gak berhasil ngebuat gadis itu terbuka  tentang kehidupan pribadinya.

Malam ini, gue merasa sangat pusing sama perasaan gue sendiri. Gue gak sanggup nahan rasa cinta sama Rini. Harus gue ungkapin malam ini juga! Batin maksa gue melangkahkan kaki keluar menuju kos Rini.

Sesampai di kos, gue gak ketemu gadis itu.

"Keluar, mas. Dari jam 8 tadi." Kata seorang teman kos Rini yang membukain pintu.

Gue segera berangsur pergi tanpa pikir panjang lagi. Akhirnya dua roda motor gue melaju sepanjang jalan-jalan kota Depok tanpa ada arah tujuan yang pasti.

Di sebuah jalan sepi, gue liat Rini lg berdua sama seorang lelaki yang mungkin lebih cocok disebut pamannya. Mereka keluar dari sebuah mobil sedan putih dan gue liat Rini berdiri bersandar pada mobil itu. Lelaki itu mendekatinya dan memeluk erat tubuh Rini tanpa ragu-ragu. Serentak wajah sumringah milik Rini terhujani ciuman penuh nafsu dari lelaki itu.

Gue mau muntah!  Darah gue memanas naik ke sekujur tubuh. Nafas gue ngalir gak beraturan. Badaai! ya,malam ini emang diberitakan kalo akan ada badai. Dan bener… Malem ini beneran ada badai. Bagi gue.. Bagi gue ini adalah musim hujan..Dan tanpa hujan.
Apa-apaan ini? Gue bener-bener gak mau percaya!

Gak lama kemudian mereka berjalan masuk ke rumah kecil yang gak berada jauh dari tempat lelaki itu memarkirkan mobilnya. Tangan lelaki itu melingkari pinggul Rini dengan mesra sambil sesekali mencumbui Rini yang tampaknya sangat lihai meladeni lelaki itu. Mereka berdua ilang dari pandangan. Gue gak berani deketin rumah itu. Gue gak berani ngebayangin apa yang akan mereka lakukan di dalam rumah itu. Atau gue gak mau ngakuin semua yang udah gue liat ini? Entahlah. Lebih baik gue pulang.

Kendaraan gue melaju kencang menabrak hembusan angin malam yang terasa sangat dingin menusuk tulang rusuk. Sepanjang jalan pikiran gue teringat pada sosok gadis pendiam yang selama ini membangun taman bunga cinta di hati gue.

* * * *

Ini adalah hari ke empat sejak gue liat kejadian di jalan sepi itu. Gue jarang nemuin Rini lagi. Tapi sore ini gue udah ada duduk di kursi ruang tamu rumah kos gadis itu. Gue rasa harus nanyain semuanya sama Rini. Hari ini gadis itu harus membuka semua dengan jujur di hadapan gue. Gue gak perduli hal-hal lain selain kejelasan mengenai diri Rini.

"Jadi kamu sudah tahu semuanya?"

Suara rini tampak bergetar takut saat mendengar cerita gue yang ngeliatnya berdua dengan lelaki bermobil sedan itu."

"Ya! Dan aku ingin tahu ada hubungan apa kamu dengan laki-laki itu?"

"Aku tak bisa menjawabnya."

"Tapi kamu tetap harus menjelaskannya padaku saat ini juga."

"Bukankah kamu sudah dengar dari semua yang dikatakan anak-anak kampus selama ini tentangku?"

"Aku mau dengar dari mulutmu sendiri, Rin."

Gadis itu hanya diam dan diam sambil menundukkan kepalanya.

"rin, apa kamu tidak tahu kalau aku mencintaimu? Aku ingin tahu tentangmu tanpa ada rahasia apapun di antara kita."

"Maafkan aku."

"Rin, apa kamu juga punya perasaan yang sama terhadapku?"

Rini menganggukkan kepalanya. "Ya, aku pun mencintaimu." Suaranya terasa gamang menjawab pertanyaan gue.

Ada sedikit rasa bahagia di hati denger jawabannya.

"Baiklah. Lalu siapa laki-laki itu, rin? Apa semua yang dibilang anak-anak kampus itu bener? Apa kamu memang seorang wanita...." Gue gak mau nerusin kata-kata itu. Sungguh menyebut kata-kata itu pun gue udah ngerasa risih.

"Iya. Semua itu benar. Aku memang wanita penghibur."

Gue kaget setengah mati. Rini, gadis muda belia yang cantik dan baik hati, yang selama ini memenuhi mimpi-mimpi malam gue, ternyata memang benar melakukan pekerjaan haram dan murahan itu. Mendadak rasa cinta gue luntur terkikis sedikit demi sedikit dalam kalbuku. Gue kecewa. Sangat kecewa.

"Kenapa kamu sampai melakukan pekerjaan itu, rin?" Gue gak tau kenapa gue bertanya hal ini pada rini.

"Aku terpaksa. Aku butuh uang untuk membayar biaya kuliahku. Juga menanggung biaya hidup keluargaku di desa."

Masih banyak lagi yang dikatakan oleh rini. Tapi gue gak gitu memperhatiin. Gue tau ia punya alasan yang cukup masuk akal. Meskipun itu alasan klasik. Gue lebih ngerasa bingung liat tubuh riin yang semakin bergetar kencang di depan gue. Tampak sekali kalo gadis itu begitu rapuh dan gak kuat menghadapi sikap gue. Seolah ia merasa sangat bersalah. Sedang  gue sendiri gak tau harus ngapain.

Memeluknya? Bahkan jiwa gue seperti melarang buat menyentuh gadis itu. Gue pusing. Sebersit rasa sedih dan bersalah menggayuti batin. Begitu teganya gue..menghakimi seorang gadis belia yang telah mempunyai kesulitan hidup yang begitu rupa. Yang sebenarnya ia juga ingin mempunyai kehidupan normal seperti gadis-gadis lainnya. Betapa jahatnya. Ini sangat tidak adil bagi rini.

"Lebih baik gue pulang."

Akhirnya gue memecah keheningan kami berdua. Hari sudah makin malam. Gue mau cepet sampai dirumah.

"Agung, aku sungguh mencintaimu." Rini berkata dengan pelan sekali sebelum aku meninggalkan teras rumahnya.

"Maafkan aku, rin."

Gak ada lagi yang bisa gue lakuin di sini. Gue harus menenangkan pikiran dan perasaan gue sendiri.

****

Sudah hampir sebulan gue gak ketemu sama Rini di kampus. Gue pun gak pernah lagi mencoba menemuinya di kosnya. Gue sudah terlanjur kecewa. Gue gak bisa menerima pekerjaan yang dilakuinnya selama ini. Teman-teman gue di kampus pun gak ada yang tau tentang keberadaan Rini. Rini seolah tenggelam di kampus kami. Berita dan omongan-omongan miring tentangnya pun tak terdengar lagi. Sepi...

Sampai suatu hari salah satu surat kabar memberitakan tentang kematian seorang wanita tuna susila yang terbunuh secara mengenaskan. Bulu kuduk meremang saat kubaca jati diri wanita yang meninggal itu. Inisial RA, berusia 20 tahun. Seluruh tubuh gue lemas seketika. Setelah gue tanyakan pada pihak berwajib mengenai tanda pengenal wanita itu, yakinlah bahwa gadis itu adalah Rini. Gue hanya terdiam menatap berita di koran itu. Kenapa bisa jadi begini,Rin?

Esok harinya, ada seorang teman kos Rini yang datang menemui gue. Ia membawa sebuah surat yang katanya dititipkan Rini seminggu sebelum kejadian pembunuhan itu. Gue sedikit ragu menerima surat itu.

Gue baca isi lembaran surat dari Rini dengan perlahan. Semakin gue ngerasa bersalah pada gadis itu. Pengen gue minta maaf  atas apa yang telah gue lakukan sebulan lalu. Saat gue menghakiminya dengan begitu menyakitkan. Sementara gue gak punya hak apa-apa untuk memintanya menjelaskan semua kehidupan pribadinya.

"Agung, aku bahagia bisa dekat denganmu. Dan aku senang kau tidak begitu saja mempercayai omongan teman-teman tentang aku. Aku percaya kalau kau benar-benar mencintaiku. Maafkan aku, Gung. Karena selama ini aku tidak terbuka padamu. Tapi terakhir aku bicara padamu, membuka semua aib diriku, kulakukan semata karena cintaku padamu. Jujur, Gung, aku juga mencintaimu. Namun aku tak berani memintamu melanjutkan cintamu sejak kau tahu tentang pekerjaanku itu. Aku sadar, gadis sepertiku tak berhak merasakan ketulusan cintamu. Kamu terlalu baik untukku. Semoga kamu mendapatkan gadis lain yang mencintaimu dengan keanggunan yang  sesungguhnya. Aku hanyalah gadis malam. Kehadiranku di dekatmu hanya akan membuat malam-malammu berubah kelam....."

Kulipat surat dari Rini dengan hati galau. Seiring gue tutup kisah cinta singkat gue dengannya. Terbayang lagi wajah sumringah yang selalu ditemani bibir mungil yang terkunci rapat.

Selamat jalan, gadisku. Selamat malam, gadisku.

gue jatuhin tubuh gue di kasur kamar. Gue lelah. Gue harap malam ini bisa menata mimpi baru untuk menyambut pagi lagi.
.